Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru
diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah
tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai
merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum
munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan.
Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.
Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang.
Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika
Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras.
Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan
pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu
juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan
bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan
dan bagaimana keberadaannya.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat
disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu
pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai
merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah
kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data
sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya
mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi
saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu
Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada
kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra
lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang
Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai
raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah
pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh
penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian
mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti
Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis
lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar
atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih
banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya,
termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran
agama bagi masyarakat luas.
Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh
kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura,
terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan
pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja
Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan
Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan
jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan
mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih
belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa
situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada
saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.
Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak
berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati
yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya
melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena
dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota
Pamekasan.
Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik
terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis
pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam
beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah
adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak
dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan
Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang
kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan
Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang
menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang
lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang
didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari
segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari
masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat
(Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang
sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan
menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir
pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan
untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi
lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’,
Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial
untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa
Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa
pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial
dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan
ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa,
khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).
Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa
perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak
hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang
ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan
terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil
mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat
bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul
kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah
tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa
asing. Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah
membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya
secara bebas.
Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah
diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi
lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk
Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara
berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang
dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak
apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah
mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa
abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis
berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup
penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di
negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak
tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai
politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul
Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai
pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai
dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926,
namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di
kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani
dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang
pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara
perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada
saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan
kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman
pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran
para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan
tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya
Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa.
Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti
maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun
fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap
diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah
ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan
kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data
primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.
sumber clik here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar